Melacak sejarah Glenmore (4)
Glenmore dan kultur Pendalungan yang unik ( Melacak Sejarah Glenmore Bagian 4)
Oleh : M. Iqbal Fardian
Secara geografis Glenmore terletak pada posisi 07,43 -08,46 derajat
LS dan 113,53 -114,38 derajat BT mempunyai luas 368.89 Km2. Kecamatan
Glenmore memiliki karakteristik wilayah, yang berbeda dengan wilayah
wilayah Kecamatan lainnya di Kabupaten Banyuwangi. Terbentuk sebagai
sebuah wilayah akibat terjadinnya perubahan politik di negeri Belanda
dimana terjadi perubahan kekuasaan di Parlemen Belanda dari kelompok
konservatif ke kelompok liberal, yang berimplikasi terhadap pola
kebijakan di negeri jajahan termasuk di Indonesia, dengan
memperkenankannya para pengusaha asing untuk menanamkan investasinya di
Indonesia melalui pembukaan wilayah hutan untuk digunakan sebagai lahan
perkebunan.
Pembukaan lahan perkebunan di Kecamatan Glenmore diawali pada tahun 1903 dengan dibukanya lahan perkebunan di Perkebunan Treblasala. Tahun 1909 Perkebunan Glenmore milik seorang pengusaha asal Skotlandia yang bernama Ros Taylor. Dibukanya lahan perkebunan ini diikuti juga dengan migrasi masyarakat Madura dan Jawa yang dipekerjakan dilahan-lahan perkebunan di sekitar Glenmore. Maka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat didaerah perkebunan terbentuklah daerah baru yang selanjutnya diberi nama Glenmore.
Sebagai sebuah wilayah yang terbentuk dari percampuran kebudayaan yang tercampur baur, maka wilayah Glenmore mewarisi pola kebudayaan “pendahalungan” sebuah pola percampuran kebudayaan dari berbagai macam etnis. Secara etimologis kata konsep pandalungan berasal dari kata dalung yang berarti “dulang besar terbuat dari logam” Arti simboliknya pandalungan adalah gambaran wilayah yang menampung beragam kelompok etnik dengan latar belakang budaya berbeda, yang kemudian melahirkan proses hibridisasi budaya.
Istilah pandalungan berarti ‘berbicara/berkata dengan tiada tentu adabnya/sopan-santunnya’ (Prawiroatmodjo, 1981). Konsep pandalungan mirip dengan konsep melting pot di Amerika Serikat, yakni kemenyatuan beberapa kelompok etnik. Secara etimologis, kata pandhalungan berasal dari bentuk dasar bahasa Jawa dhalung yang berarti “periuk besar”
Realitasnya dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan di kawasan tapal kuda, definisi itu bisa berarti bahwa bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat bersangkutan adalah bahasa yang cenderung kasar (ngoko) atau bahasa yang dipergunakan antar masyarakat struktur egaliter. Seringkali dalam mengungkapkan sesuatu mereka menggunakan bahasa campuran, antara Jawa dan Madura. Sebagai sebuah budaya campuran, tentu memerlukan suatu proses yang cukup panjang, dan bahkan mungkin sampai saat ini masih terus berproses. Artinya, jika konsep pandalungan diartikan sebagai sebuah identitas budaya, maka identitas tersebut masih terus mencari bentuk.
Sehingga di Kecamatan Glenmore terjadi pola gabungan kebudayaan yang bercampur baur sehingga menghasilkan pola kebudayaan yang tidak bisa disebut Jawa atau Madura. Orang Madura tipologinya cenderung mempunyai watak yang keras (temperamen tinggi), terbuka, kekerabatannya sangat kuat, dan merupakan pekerja yang keras. Sebaliknya, orang Jawa tipologinya bersifat lebih penyabar, hemat dan cermat, namun mereka juga merupakan pekerja yang keras. Perbedaan ini tampaknya tidak menyimpang dari gambaran Kuntowidjoyo ,1980) yang menyatakan bahwa latar belakang kondisi geografis yang kering di daerahnya (bercocok tanam di tegalan) membuat orang Madura cenderung lebih individual dibandingkan dengan orang Jawa. Sedangkan orang Jawa yang berasal dari daerah subur (pertanian sawah), membentuknya menjadi lebih bersifat komunal dan akrab dengan alam.
Perbedaan kedua karakter ini, di wilayah pendalungan ini tampaknya tidak terlalu berpengaruh bagi kedua etnik yang bersangkutan, sebab pada akhirnya terjadi akulturasi budaya satu sama lain. Kedua etnik ini menyadari kenyataan bahwa mereka harus menghadapi situasi tekanan struktural dan kondisi alam yang sama, sehingga terjalinlah hubungan harmonis antara keduanya sampai saat ini.
Sebagai sebuah wilayah terbentuk dari perpaduan antara dua budaya dominan maka budaya di Kecamatan Glenmore membentuk sebuah pola kebudayaan unik dan berhubungan secara harmonis dan membentuk keseimbangan baru yang merupakan hasil dari kebudayaan yang ada di Glenmore. Masing masing budaya berusaha untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang dibawa masing-masing budaya, melalui cara-cara tersendiri dalam komunitasnya. Akan tetapi masing-masing budaya tidak berusaha untuk mempertahankan identitas kulturalnya yang unik, karena mereka datang ke Glenmore tidak dalam rangka membawa misi kebudayaan akan tetapi dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik dibanding daerah tempat asal mereka.
Masyarakat Glenmore adalah masyarakat yang berada dalam posisi transisi dalam pola sosial budayanya. Masyarakat Transisi adalah masyarakat yang memiliki kultur campuran antara dua budaya dominan yang ada. Etika sosial, seperti tata krama, sopan-santun, atau budi pekerti orang pandalungan berakar pada nilai-nilai yang diusung dari dua kebudayaan yang mewarnainya, yakni kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Madura. Mereka yang berada di wilayah dominan Madura, mereka cenderung memiliki karakteristik kultur transisi antara Jawa-Madura tetapi karena mereka tinggal di wilayah yang dominan Madura maka pengaruh adat istiadat, budi pekerti, kultur Madura relatif sangat kuat. Karakteristik tersebut tampak pada cara mereka berkomunikasi, yaitu menggunakan bahasa Jawa campur Madura, akan tetapi perbendaharaan bahasa dan logat Madura sangat tampak lebih dominan disbanding Jawa. Kondisi demikian, mau tidak mau membawa pengaruh terhadap sikap dan perilaku sopan-santun, tatakrama, dalam pergaulan sehari-hari. Etnis Madura yang bertempat tinggal diwilayah perkebuan dan non perkebunan juga memiliki pola komunikasi yang berbeda, meskipun keduanya menggunakan bahasa Madura akan tetapi masyarakat wilayah perkebunan memiliki corak komunikasi yang lebih kasar dibanding dengan etnis Madura yang tinggal di wilayah perkotaan.
Sebaliknya mereka yang berada di wilayah dominan Jawa, mereka cenderung memiliki karakteristik kultur transisi Jawa-Madura, tetapi pengaruh kultur lingkungan yang dominan Jawa, mengakibatkan adat istiadat dan budi pekerti kultur Jawa relatif sangat kuat membentuk perilakunya. Hal demikian sangat tampak dalam cara mereka berkomunikasi , yaitu menggunakan bahasa Jawa campur Madura tetapi perbendaharaan bahasa dan logat Jawa sangat kuat.
Secara umum penduduk Glenmore yang beretnis Madura mendiami wilayah Desa Sepanjang (wilayah Pasar Glenmore), Tulungrejo, Tegalharjo, Karangharjo dan Margomulyo (Perkebunan Glenmore). Sementara itu masyarakat Jawa banyak mendiami wilayah Desa Sepanjang (Megelenan,Mediunan), Desa Sumbergondo, Desa Bumiharjo, Desa Karangharjo (Krajan).
Selain etnis Jawa dan Madura, wilayah Kecamatan Glenmore juga didiami etnis China dan Arab yang tinggal disekitar pusat ekonomi di wilayah Pasar Glenmore dan Desa Karangharjo. Karena kedua etnis tersebut menguasai sektor perdagangan di Glenmore, karakter unik juga ditunjukkan kedua etnis tersebut. Tinggal didaerah percampuran berbagai macam budaya seperti di Glenmore membuat etnis China dan Arab juga menguasai Bahasa Madura dan Bahasa Jawa dengan cukup baik, meskipun kedua etnis tersebut cenderung lebih ekslusif dibanding etnis Madura dan Jawa yang telah bisa berakulturasi melalui jalur perkawinan, sementara itu etnis China dan Arab cenderung untuk hanya melakukan perkawinan dengan sesama etnisnya.
source: https://www.facebook.com/groups/247350298663897/permalink/710021439063445/
Oleh : M. Iqbal Fardian
Pembukaan lahan perkebunan di Kecamatan Glenmore diawali pada tahun 1903 dengan dibukanya lahan perkebunan di Perkebunan Treblasala. Tahun 1909 Perkebunan Glenmore milik seorang pengusaha asal Skotlandia yang bernama Ros Taylor. Dibukanya lahan perkebunan ini diikuti juga dengan migrasi masyarakat Madura dan Jawa yang dipekerjakan dilahan-lahan perkebunan di sekitar Glenmore. Maka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat didaerah perkebunan terbentuklah daerah baru yang selanjutnya diberi nama Glenmore.
Sebagai sebuah wilayah yang terbentuk dari percampuran kebudayaan yang tercampur baur, maka wilayah Glenmore mewarisi pola kebudayaan “pendahalungan” sebuah pola percampuran kebudayaan dari berbagai macam etnis. Secara etimologis kata konsep pandalungan berasal dari kata dalung yang berarti “dulang besar terbuat dari logam” Arti simboliknya pandalungan adalah gambaran wilayah yang menampung beragam kelompok etnik dengan latar belakang budaya berbeda, yang kemudian melahirkan proses hibridisasi budaya.
Istilah pandalungan berarti ‘berbicara/berkata dengan tiada tentu adabnya/sopan-santunnya’ (Prawiroatmodjo, 1981). Konsep pandalungan mirip dengan konsep melting pot di Amerika Serikat, yakni kemenyatuan beberapa kelompok etnik. Secara etimologis, kata pandhalungan berasal dari bentuk dasar bahasa Jawa dhalung yang berarti “periuk besar”
Realitasnya dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan di kawasan tapal kuda, definisi itu bisa berarti bahwa bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat bersangkutan adalah bahasa yang cenderung kasar (ngoko) atau bahasa yang dipergunakan antar masyarakat struktur egaliter. Seringkali dalam mengungkapkan sesuatu mereka menggunakan bahasa campuran, antara Jawa dan Madura. Sebagai sebuah budaya campuran, tentu memerlukan suatu proses yang cukup panjang, dan bahkan mungkin sampai saat ini masih terus berproses. Artinya, jika konsep pandalungan diartikan sebagai sebuah identitas budaya, maka identitas tersebut masih terus mencari bentuk.
Sehingga di Kecamatan Glenmore terjadi pola gabungan kebudayaan yang bercampur baur sehingga menghasilkan pola kebudayaan yang tidak bisa disebut Jawa atau Madura. Orang Madura tipologinya cenderung mempunyai watak yang keras (temperamen tinggi), terbuka, kekerabatannya sangat kuat, dan merupakan pekerja yang keras. Sebaliknya, orang Jawa tipologinya bersifat lebih penyabar, hemat dan cermat, namun mereka juga merupakan pekerja yang keras. Perbedaan ini tampaknya tidak menyimpang dari gambaran Kuntowidjoyo ,1980) yang menyatakan bahwa latar belakang kondisi geografis yang kering di daerahnya (bercocok tanam di tegalan) membuat orang Madura cenderung lebih individual dibandingkan dengan orang Jawa. Sedangkan orang Jawa yang berasal dari daerah subur (pertanian sawah), membentuknya menjadi lebih bersifat komunal dan akrab dengan alam.
Perbedaan kedua karakter ini, di wilayah pendalungan ini tampaknya tidak terlalu berpengaruh bagi kedua etnik yang bersangkutan, sebab pada akhirnya terjadi akulturasi budaya satu sama lain. Kedua etnik ini menyadari kenyataan bahwa mereka harus menghadapi situasi tekanan struktural dan kondisi alam yang sama, sehingga terjalinlah hubungan harmonis antara keduanya sampai saat ini.
Sebagai sebuah wilayah terbentuk dari perpaduan antara dua budaya dominan maka budaya di Kecamatan Glenmore membentuk sebuah pola kebudayaan unik dan berhubungan secara harmonis dan membentuk keseimbangan baru yang merupakan hasil dari kebudayaan yang ada di Glenmore. Masing masing budaya berusaha untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang dibawa masing-masing budaya, melalui cara-cara tersendiri dalam komunitasnya. Akan tetapi masing-masing budaya tidak berusaha untuk mempertahankan identitas kulturalnya yang unik, karena mereka datang ke Glenmore tidak dalam rangka membawa misi kebudayaan akan tetapi dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik dibanding daerah tempat asal mereka.
Masyarakat Glenmore adalah masyarakat yang berada dalam posisi transisi dalam pola sosial budayanya. Masyarakat Transisi adalah masyarakat yang memiliki kultur campuran antara dua budaya dominan yang ada. Etika sosial, seperti tata krama, sopan-santun, atau budi pekerti orang pandalungan berakar pada nilai-nilai yang diusung dari dua kebudayaan yang mewarnainya, yakni kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Madura. Mereka yang berada di wilayah dominan Madura, mereka cenderung memiliki karakteristik kultur transisi antara Jawa-Madura tetapi karena mereka tinggal di wilayah yang dominan Madura maka pengaruh adat istiadat, budi pekerti, kultur Madura relatif sangat kuat. Karakteristik tersebut tampak pada cara mereka berkomunikasi, yaitu menggunakan bahasa Jawa campur Madura, akan tetapi perbendaharaan bahasa dan logat Madura sangat tampak lebih dominan disbanding Jawa. Kondisi demikian, mau tidak mau membawa pengaruh terhadap sikap dan perilaku sopan-santun, tatakrama, dalam pergaulan sehari-hari. Etnis Madura yang bertempat tinggal diwilayah perkebuan dan non perkebunan juga memiliki pola komunikasi yang berbeda, meskipun keduanya menggunakan bahasa Madura akan tetapi masyarakat wilayah perkebunan memiliki corak komunikasi yang lebih kasar dibanding dengan etnis Madura yang tinggal di wilayah perkotaan.
Sebaliknya mereka yang berada di wilayah dominan Jawa, mereka cenderung memiliki karakteristik kultur transisi Jawa-Madura, tetapi pengaruh kultur lingkungan yang dominan Jawa, mengakibatkan adat istiadat dan budi pekerti kultur Jawa relatif sangat kuat membentuk perilakunya. Hal demikian sangat tampak dalam cara mereka berkomunikasi , yaitu menggunakan bahasa Jawa campur Madura tetapi perbendaharaan bahasa dan logat Jawa sangat kuat.
Secara umum penduduk Glenmore yang beretnis Madura mendiami wilayah Desa Sepanjang (wilayah Pasar Glenmore), Tulungrejo, Tegalharjo, Karangharjo dan Margomulyo (Perkebunan Glenmore). Sementara itu masyarakat Jawa banyak mendiami wilayah Desa Sepanjang (Megelenan,Mediunan), Desa Sumbergondo, Desa Bumiharjo, Desa Karangharjo (Krajan).
Selain etnis Jawa dan Madura, wilayah Kecamatan Glenmore juga didiami etnis China dan Arab yang tinggal disekitar pusat ekonomi di wilayah Pasar Glenmore dan Desa Karangharjo. Karena kedua etnis tersebut menguasai sektor perdagangan di Glenmore, karakter unik juga ditunjukkan kedua etnis tersebut. Tinggal didaerah percampuran berbagai macam budaya seperti di Glenmore membuat etnis China dan Arab juga menguasai Bahasa Madura dan Bahasa Jawa dengan cukup baik, meskipun kedua etnis tersebut cenderung lebih ekslusif dibanding etnis Madura dan Jawa yang telah bisa berakulturasi melalui jalur perkawinan, sementara itu etnis China dan Arab cenderung untuk hanya melakukan perkawinan dengan sesama etnisnya.
source: https://www.facebook.com/groups/247350298663897/permalink/710021439063445/
Komentar
Posting Komentar